Tanah perantauan
mungkin akrab kaitannya dengan pola hidup yang dijalankan orang-orang Minang.
Tanah yang jauh dari kampung halaman untuk sekedar menemukan makna hidup. Baik
itu untuk pendidikan, maupun mencari peruntungan. Ketika tujuan hidup di rantau
telah selesai, maka kepulangan adalah hakikat yang mesti dijalani selanjutnya.
Namun, bagaimana
jika seorang anak Tionghoa juga rindu kampung halamannya? Kampung halaman yang
bukan di tanah Cina sana, melainkan di tanah Nusantara tempat ia dan beberapa
turunan keluarganya dilahirkan?
Paling tidak, hal
itu yang dirasakan Alex Indra Lukman ketika berada di tanah Jerman. Selain menimba ilmu di kota Frankfurt ia juga bekerja di maskapai kebanggaan rakyat Jerman—Lufthansa
bagian kargo barang. Posisinya sebagai Kepala Tim di maskapai tersebut terbilang strategis dan
jarang diperoleh bagi orang
Asia bahkan Indonesia. Tetapi apa yang terbersit dari pikiran
Alex saat itu?
Pulang! Pulang dan mengabdi ke kampung halaman, di
Nusantara—di Indonesia. Meskipun pemerintahan otoriter masih bercokol di sana,
meskipun pemerintahan itu pula yang membuat ia disisihkan dari pergaulan
teman-teman sebaya. Kerinduan pada tanah kelahiran menjadi keinginan terkuat
yang mengalahkan peruntungan menggiurkan di tanah rantau saat itu.
Apa yang menjadi
pola pikirnya dalam membangun tanah kelahirannya itu? Sejauh apa ia memaknai
hakikat Pancasila? Mari kita simak wawancara singkat dengan Alex Indra Lukman
atau yang akrab disapa bang Alex, seorang calon legislatif DPR RI Dapil I
Sumatera Barat dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan bernomor urut 1 ini.
Apa yang
melatarbelakangi Bang Alex terjun ke dunia politik?
Saya lahir dari
keluarga politik. Almarhum Ayah saya (Johanes Lukman) mulai
memasuki dunia politik semenjak era KAMI dan KAPPI mempelopori terbentuknya
Front Pancasila. Pada masa awal Orde Baru, ayah telah menjadi pimpinan di
Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi dari beberapa partai berhaluan
nasionalis seperti PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba dan IPKI. Menjadi
keluarga politik yang berseberangan dengan pemerintahan ORBA bukan persoalan
yang mudah. Berbagai macam teror dan tekanan mau tidak mau mesti dihadapi.
Terutama, pada masa itu, keluarga saya yang juga merupakan keluarga Tionghoa
tipikalnya selalu dikait-kaitkan dengan dukungan terhadap pemerintah.
Orang-orang keturunan di sekitar Pondok yang memilih garis politik yang
berseberangan dengan pemerintahan Orde Baru bisa diterka saja, siapa-siapa
orangnya. Namun, hal itu tidak sedikitpun membuat kami sekeluarga ragu terhadap
pilihan politik yang kami yakini. Pada awal reformasi periode 1999-2004 sebelum beliau meninggalkan kami
semua, Ayah sempat menjadi anggota DPR RI Komisi 3 yang membidangi Pertanian
dan menjadi Wakil Bendahara di DPP PDIP-Perjuangan. Kekonsistenan pilihan itu pula yang membuat saya tetap terjun ke arena politik.
Apa yang
membuat Bang Alex tertarik pada Islam dan menjadi Muslim?
Semenjak kecil,
saya sudah terbiasa bergaul dengan teman-teman di Pemancungan yang mayoritas
Islam. Ketika itu, Surau dalam konteks dan fungsinya bagi orang Minang masih
begitu kental. Sehingga, tidur di Surau bagi anak laki-laki Minang juga saya
rasakan secara pribadi. Saya dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan mereka, tanpa
pernah berpikir saya orang Tionghoa, mereka Minang. Sebagai non-muslim ketika
itu, toleransi yang dilakukan oleh teman-teman Muslim membuat saya tertarik
mendalami Islam. Selanjutnya, proses mendalami Islam saya alami saat
melanjutkan kuliah di Jerman. Namun, karena keterbatasan yang juga saya miliki,
akhirnya kuliah tidak pernah selesai. Di Jerman itu juga, saya malah bergabung
dan bekerja di Lufthansa Cargo sebagai kepala regu. Di Lufthansa Cargo, saya
banyak bergaul dengan para imigran Arab yang juga bekerja di sana. Dari
teman-teman Arab inilah, saya mendapatkan pelajaran Tauhid, bahwa dosa yang
tidak pernah diampuni dalam Islam itu adalah mempersekutukan Tuhan. Jadi, saya
ini menjadi muallaf bukan karena menikah, karena ikut-ikutan atau hal-hal lain,
tetapi sudah melalui proses yang cukup panjang. Sehingga, baru pada tahun 2007
yang lalu saya masuk Islam.
Bagaimana
penerimaan keluarga ketika mengetahui ketertarikan Bang Alex terhadap Islam?
Sebagai keluarga
PDI yang berazaskan Pancasila, keyakinan atau pilihan agama adalah tanggung
jawab masing-masing pribadi dengan Penciptanya. Bukan dengan siapa yang
melahirkannya, saudaranya atau lingkungannya. Jadi, tidak ada masalah ketika
saya bermaksud menjadi muallaf. Saya rasa, setiap orang harus mampu memilih dan
konsisten terhadap pilihannya. Walaupun suara-suara miring terhadap keislaman
saya tetap ada. Tetapi, itu bukanlah pertimbangan atau yang membuat saya
ragu-ragu dalam bersikap. Bahkan, pada tahun awal setelah menjadi muallaf, ibu
saya yang senantiasa membangunkan dan memasakkan saya untuk kebutuhan sahur
pada bulan puasa.
Bagaimana
pendapat abang tentang ormas-ormas yang sering mengandalkan otot dalam setiap
aksi-aksinya?
Saya rasa itulah yang bisa kita simpulkan
bahwa negara ini telah gagal. Bagaimana caranya, sebuah negara bisa takluk dan
kalah oleh kekuatan-kekuatan yang hadir dalam bentuk ormas secara sporadis.
Saya rasa, sebuah negara mestinya mengayomi dan melindungi setiap warga
negaranya baik yang mayoritas maupun yang minoritas. Kita harus konsisten
dengan azas dan landasan Pancasila serta UUD 1945, sehingga tidak dibenarkan memberikan
ruang dalam hal pemaksaan atau menjadi polisi agama misalnya di negara
Indonesia ini karena itu melanggar konstitusi.
Nah, kalau
Piagam Jakarta sendiri apa pendapat Bang Alex?
Piagam Jakarta yang
dihasilkan dari Panitia Sembilan pimpinan Bung Karno merupakan cikal bakal
Pancasila sebagai dasar negara. Butir pertama dalam rumusan tersebut memang
merupakan suatu bentuk penghargaan kepada umat Islam sebagai umat yang
mayoritas di negeri ini. Tetapi, adanya revisi pada butir pertama piagam
tersebut menurut saya merupakan bukti konkret dari pencapaian toleransi yang
tidak mesti diributkan saat ini. Para pendiri negara ini tentu telah memikirkan
hal-hal terbaik demi kelancaran berdirinya negara ini termasuk 4 orang utusan
dari golongan Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan.
Apakah
Pancasila sebagai Dasar Negara masih terimplementasi dengan baik sampai
sekarang Bang?
Sudah seharusnya
kita berterima kasih pada Bung Karno dan tokoh-tokoh yang lain karena telah
merumuskan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Bisa kita lihat pada negara-negara
Eropa atau negara-negara asing lainnya. Ketika Komunis telah runtuh dan Liberalisme juga sudah terseok-seok, mereka
mencari sumber sistem demokrasi yang apik. Dan, Pancasila juga sudah mereka
pelajari untuk mengganti dua ideologi yang telah runtuh itu, meskipun dengan
nama atau model yang lain. Oleh karena itu, Pancasila adalah sumber sistem
demokrasi yang sesuai untuk bangsa Indonesia. Persoalannya sekarang adalah,
bahwa kita tidak pernah menghargai pokok-pokok pikiran yang dilahirkan oleh
putra-putri terbaik bangsa. Sehingga, implementasi dari Pancasila tidak
terjalankan secara baik. Lucunya, kita lebih suka kebarat-baratan atau ke
arab-araban sehingga jadinya kehilangan identitas sendiri. Bahkan dewasa ini,
saya prihatin dengan orang-orang, dengan tokoh politik, dengan negarawan,
dengan figur-figur masyarakat yang justru bicaranya campur aduk. Sepertinya,
menyelipkan kosa kata asing itu menjadi kebanggaan tersendiri agar terlihat
keren. Saya pikir, ini adalah salah satu bentuk pengkhianatan dari apa yang
sudah kita ketahui dalam butir-butir Sumpah Pemuda.
Menurut
Bang Alex, bagaimana laju perekonomian Indonesia saat ini?
Saya ambil contoh
misalnya dalam teknologi. Satu hal yang mesti dipertanyakan seperti, ketika
kita mampu membuat pesawat, kenapa kita tidak mampu membuat mobil nasional,
atau sepeda motor nasional? Kenapa
yang berkeliaran di jalan raya kita ini semuanya keluaran asing? Seharusnya,
dalam pemahaman saya, membuat pesawat itu lebih susah ketimbang membuat mobil
atau sepeda motor. Saya pikir ini adalah suatu bentuk keterjajahan dimana kita
tidak bisa memenuhi kebutuhan transportasi. Contoh lainnya seperti soal pertambangan.
Tanah kita dikeruk, dirampok oleh asing. Cadangan emas terbesar di dunia
misalnya ada dalam lisensi Freeport, padahal itu terletak dalam wilayah
Republik tercinta ini. Tuhan, mungkin sangat sayang pada bangsa ini. Dikeruk,
diangkut, dieksplorasi sedemikian rupa tetapi masih bisa kaya akan kandungan
alamnya. Tetapi, mineral tambang itu kan tidak kekal sifatnya. Jika suatu saat
habis, kita Indonesia ini mau jual apa? Jadi, sudah seharusnya kita mengolah
sendiri kandungan alam itu demi pembangunan ekonomi Indonesia. Bukan sekedar
mengandalkan keuntungan lewat pajak ekspor-impor. Kesannya, pemerintahan
Indonesia sekarang ini seperti pemerintahan broker. Apa-apa, hitungannya
berdasarkan fee atau bayaran pajak saja.
Jadi, Abang
sepakat dengan Nasionalisasi?
Menurut saya,
mempertimbangkan kembali negosiasi kontrak adalah hal yang paling tepat dalam
membatasi ruang kerja perusahaan asing di Republik Indonesia ini. Kita bukannya
anti asing, tetapi seharusnya kerjasama tersebut menyangkut alih teknologi,
atau memberikan kesempatan kepada putra bangsa dalam melakukan eksplorasi.
Selain itu, dengan membatasi jangka waktu kontrak, sehingga dalam jangka waktu
tersebut kita bisa mempersiapkan dengan matang generasi muda untuk menggantikan
posisi-posisi dari perusahaan asing itu. Bukannya dengan menjual hasil mentah
kepada asing, lalu diolah di luar negeri kemudian dikonsumsi di dalam negeri
kembali. Coba bayangkan, hampir segala kebutuhan kita baik primer maupun
sekunder itu di impor dari asing. Padahal, kita semestinya yakin dengan
kemampuan yang dimiliki anak bangsa dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
Bagaimana
pula pendapat Abang tentang masalah agraria?
Contoh yang
paling riil di Sumatera Barat ini seperti gambir. 85% kebutuhan dunia akan
gambir itu dari Sumatera Barat. Dua kabupaten di Sumatera Barat yang merupakan
daerah penghasil gambir terbanyak yaitu Lima Puluh Kota dan Pesisir Selatan.
Pertanyaannya adalah, apa sih yang didapatkan masyarakat di daerah tersebut
selain upah kerja keras mereka? Kasarnya, jika kita stop penjualan gambir ke
luar, maka dunia pasti terpekik karena ketiadaan gambir di pasaran. Celakanya,
tidak ada satupun pabrik pengolahan lanjutan yang menjadikan gambir sebagai
produk yang siap dipasarkan itu berdiri. Jangankan di dua kabupaten itu, di
Sumatera Barat secara keseluruhan pun tidak ada. Sebanyak ini profesor, doktor
atau sarjana di Sumatera Barat ini masak tidak ada yang mampu mengolah gambir
menjadi barang kebutuhan dunia. Entah, apakah karena ketidaktahuan fungsi atau
olahan gambir selain jadi obat-obatan, atau karena hal lain. Sementara, produk
yang bisa dipasarkan dari olahan gambir sangat bermacam mulai dari tinta, sirup
atau sabun. Sehingga, tidak ada pemasukan lebih dari hanya sekedar ekspor olahan
mentah gambir. Selain itu, kita membuka ruang yang terlalu bebas kepada
investor asing dalam menandatangani kontrak lahan. Kontrak lahan tersebut bisa
mencapai ratusan tahun, sehingga masyarakat kecil tidak lagi punya tanah untuk
bertani maupun berkebun. Saya pikir, kita atau pemerintah yang tidak mau
merubah pola pikir dari negara penghasil atau negara berkembang menjadi negara
industri.
Baru-baru
ini pemerintah menggulirkan program mobil murah atau low cost green car (LCGC).
Bagaimana pendapat Bang Alex tentang hal itu?
Saya ambil contoh
di Jerman. Di Jerman, ada beberapa pabrik otomotif yang cukup besar di dunia
seperti BMW, Volkswagen, Audi dan lain-lain. Tetapi, di sana transportasi umum
yang aman, nyaman dan tepat waktu tetap ada. Bahkan, menjadi pilihan utama bagi
aktivitas keseharian masyarakat Jerman. Meskipun orang Jerman itu sudah
setingkat direktur, tidak ada yang pergi ke kantor memakai mobil pribadinya. Hal
ini yang semestinya pemerintah kita tiru. Bagaimana semua lapisan masyarakat memaksimalkan
penggunaan fasilitas umum. Sementara mobil pribadi hanya dipergunakan untuk
keperluan jauh ke luar kota. Bukannya hanya duduk diam dan menerima begitu saja
menjadi target pasar dunia. Saya lebih sepakat agar Indonesia memproduksi mobil
sendiri sekaligus dengan merek dagang sendiri. Bahkan, diprioritaskan untuk
transportasi umum. Bukannya komponen kita yang produksi tapi merek masih punya
asing. Tentu yang akan mendapat untung besar adalah pihak asing karena mereka
yang punya merek atau lisensi.
Dengan kata
lain, Bang Alex tidak sepakat dengan pasar bebas?
Pasar bebas itu
menurut saya seharusnya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Tidak mungkin
rasanya kita membandingkan petani kita yang hanya punya setengah hektar lahan
dengan petani Amerika yang punya lahan sepuluh atau ratusan hektar, lalu,
produksi keduanya diadu dalam pasar bebas. Sampai kapan pun, petani kita yang orang Indonesia
pasti kalah. Hal itu menjadi pertarungan yang tidak seimbang. Bukan berarti
saya anti pasar bebas, tetapi yang seharusnya dilakukan pemerintah pertama kali
adalah menjamin secara adil bahwa masyarakat Indonesia memang layak untuk turut
serta dalam hal mekanisme pasar bebas itu.
Satu contoh
kasus Bang di Kota Padang, dimana sekarang ini marak tumbuh mall-mall besar.
Apa pendapat Abang tentang hal ini?
Tentang mall ini,
saya kutip dari apa yang dilakukan Jokowi. Pada dasarnya, yang menjadi pembeli
di mall-mall ini adalah kalangan menengah ke atas. Kalangan ini pastilah punya
kendaraan. Sehingga, idealnya mall-mall ini layak berdiri di pinggiran kota.
Kaitannya dengan pembangunan kota, pastilah akan mengarah ke pinggiran
tersebut. Bukannya mandek atau tersendat di wilayah itu-itu saja yang termasuk
dalam kota. Sementara untuk pusat kota, biarkanlah pasar-pasar rakyat itu
berdiri dengan semestinya. Karena, disana tempatnya pedagang-pedagang kecil itu
tumbuh. Jika mall sudah berdiri di pusat kota, tentulah pedagang-pedagang kecil
itu akan kalah. Hanya saja, pasar rakyat dalam hal ini Pasar Raya memang butuh
direnovasi dan ditata karena sempat roboh pada gempa tahun 2009 lalu. Ketika
pasar telah direnovasi, dibangun kembali, silahkanlah pedagang menempati
kios-kios tersebut seperti sediakala. Dan sebaiknya pasar tersebut dibangun
bertingkat, sehingga pedagang-pedagang yang saat ini berjualan di tepi jalan
atau yang baru masuk dipersilahkan menempati kios yang bertingkat itu. Bukannya
malah membisniskan pasar dengan retribusi yang tinggi kepada pedagang. Dua
tugas pokok yang sebenarnya diemban oleh pemerintah adalah menjadi regulator
dan fasilitator. Sebagai fasilitator berarti pemerintah berkewajiban
memfasilitasi masyarakatnya dalam hal mencari nafkah ataupun aktivitas umum.
Sebagai regulator berarti buatlah peraturan-peraturan yang menjaga agar tidak
ada orang-orang yang dapat berbuat semaunya, terutama terkait dengan fasilitas
umum tadi.
Bagaimana
pendapat Abang tentang akan dibangunnya Lippo Mall di Padang?
Yang tidak saya
setuju itu adalah masalah tempatnya. Bisa dikatakan sekarang ada dua mall besar yang berdiri tidak sesuai
tempatnya. Sudah kita alami juga bagaimana macetnya di jalan-jalan depan mall
tersebut. Selain itu, seharusnya pemerintah konsisten dengan apa yang dahulu
telah disepakati. Misalkan
untuk di Jalan Khatib Sulaiman dipergunakan untuk kantor-kantor pemerintahan.
Sementara di Jalan A. Yani untuk tempat tinggal. Bukannya malah menegosiasikan
tempat-tempat tersebut sebagai lahan bisnis.
Saat ini,
banyak spanduk atau poster caleg dan kepala daerah terpampang di
pinggir-pinggir jalan. Menurut Abang sendiri, apa strategi yang paling ideal
bagi para caleg dalam menyampaikan visi sekaligus memperkenalkan dirinya kepada
publik?
Saat ini, ada
peraturan KPU terbaru yang melarang pemasangan baliho. Hal ini tentunya bagus
namun akan sedikit menyulitkan bagi para caleg DPR RI dengan wilayah Dapil yang
cukup luas dalam mensosialisasikan dirinya. Namun, bagi PDI-Perjuangan hal
tersebut tentu mesti disiasati. Pada dasarnya, kita ini akan memilih wakil
rakyat dalam Pemilu legislatif, bukannya memilih wakil iklan. Bagaimana
kemudian, rakyat itu bisa memilih wakilnya jika dia tidak mengenal orangnya.
Oleh karena itu, peraturan terbaru dari KPU ini benar-benar bermanfaat karena
benar-benar memaksa seorang caleg untuk turun langsung menemui konstituennya
dalam membangun sebuah komitmen. Karena mereka dipilih sebagai wakil rakyat
dalam lima tahun, maka haruslah dibangun sebuah kontrak politik antara si caleg
dengan masyarakatnya. Peserta Pemilu sendiri sebenarnya adalah partai politik,
bukan individu-individu. Sudah sepatutnya kerja tersebut menjadi kerja partai.
Sehingga, pada PDI-Perjuangan sendiri kerja tersebut merupakan satu kesatuan
dari seluruh caleg yang maju di tingkat DPR-RI, Provinsi, Kota maupung Tingkat
II. Kontrak politik itu sendiri beragam terkait dengan kondisi daerah
masing-masing. Misalkan contoh kasus, ada daerah di Sumatera Barat ini yang
masih belum dialiri listrik. Sehingga, ada satu komitmen yang terbangun untuk
memasukkan listrik jika PDI-Perjuangan memenangkan Pemilu di daerah tersebut.
Bagi PDI-Perjuangan, sederhana saja untuk masyarakat dalam menyikapi
kontrak-kontrak politik tersebut. Apabila di kemudian hari ada yang
mengkhianati kontrak politik tersebut maka rakyat akan menghukum partai politik
yang bersangkutan dalam Pemilu berikutnya.
Apa strategi
Bang Alex sendiri dalam menghadapi Pemilu 2014 mendatang?
Pembelajaran
politik yang terpenting bagi masyarakat adalah mengawasi setiap kontrak politik
itu dan mengharamkan yang namanya politik uang. Bisa dihitung, berapa dana
kampanye yang harus dikeluarkan jika para caleg berjalan sendiri dan jor-joran
dalam mengiklankan diri. Selanjutnya adalah, apa yang bisa dilakukan anggota
dewan untuk menutupi dana kampanye yang sangat besar itu? Pasti anggota dewan
tersebut akan mencari gantinya. Jika punya dana besar, apa salahnya kalau
menyantuni anak yatim misalnya. Itu pula yang menjadikan masyarakat menjadi
tidak percaya terhadap wakil-wakil rakyatnya karena kesalahan-kesalahan di masa
lalu yang saya pikir partai juga ikut bertanggung jawab dalam hal itu. Tetapi,
saat ini dan ke depannya, kita harus lawan yang namanya politik uang itu.
Karena, yang ada besok bukannya wakil rakyat, tetapi malah wakil kapital atau
kemenangan kapital. Bagi saya
sendiri ya itu tadi, bahwa peserta caleg itu bukan saya saja. Bahwa walaupun
caleg dihitung berdasarkan suara terbanyak tetapi juga dilihat antara kedekatan
partai dengan konstituennya.
Apakah di
PDI-Perjuangan terdapat semacam kontrak politik juga antara caleg dengan
partai?
Di PDI-Perjuangan
sendiri, ada peraturan atau keputusan partai yang harus ditaati oleh caleg
terpilih. Konsekuensinya jelas, misalkan ada anggota dewan yang tidak mentaati
keputusan partai terkait dengan kesejahteraan rakyat maka akan di PAW atau
pergantian antar waktu. Pemilu
yang sekarang ini ibaratnya seperti jeruk makan jeruk. Setiap caleg seperti berlawanan meski dalam satu
payung partai. Di PDI-Perjuangan sendiri saya mengusulkan agar setiap caleg mesti
mengunjungi setiap cabang yang gunanya untuk menjalin silaturrahim. Ini
menegaskan bahwa, yang bertarung di Pemilu bukan caleg, tapi partai. Soal
masalah terpilih atau tidak terpilih atau siapa yang duduk menjadi anggota
dewan, itu kan sudah menjadi keputusan takdir atau keputusan Tuhan. Jadi, saya
pikir, tidak perlulah sesama caleg terutama dalam satu partai cakar-cakaran
memperebutkan hati rakyat. Sehingga, dengan sistem gotong-royong yang dilaksanakan
di PDI-Perjuangan, akan meminimalisir pengeluaran dana kampanye yang cukup
besar jika dilaksanakan per-individu caleg.
Jadi, apa
yang salah dari sistem Pemilu Indonesia ini Bang?
Menurut saya,
Pemilu terbaik itu adalah Pemilu tahun 1999. Ketika rakyat itu memilih partai,
maka partailah yang tahu siapa kader terbaik menurut partai untuk duduk menjadi
anggota dewan. Apabila partai kemudian salah dalam menempatkan kadernya, partai
itu akan menanggung sendiri resikonya. Pada Pemilu berikutnya, pasti tidak akan
dipilih lagi oleh rakyat atau menjadi berkurang suaranya. Dengan sistem caleg
seperti sekarang ini—dengan suara terbanyak, otomatis partai tidak akan punya
pilihan lain lagi.
Tentang
Golput, bagaimana Abang menanggapi akan hal ini?
Saya tidak dapat
menyalahkan masyarakat, karena Pemilu di Indonesia merupakan hak setiap warga
negara, bukan merupakan kewajiban. Haknya masyarakat apakah dalam Pemilu itu
dia akan memilih atau tidak. Saya pikir, ini menyangkut adanya harapan atau
tidak pada masing-masing visi partai. Jika masyarakat melihat, ada harapan yang
bisa dipetik dari visi partai tertentu, maka mereka akan hadir ketika pesta
demokrasi tersebut, begitu pun sebaliknya. Tetapi, saya menghimbau agar
masyarakat lebih baik memilih ketimbang surat suara tersebut dipakai oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.