Oleh: Alex
Indra Lukman
Pemilu merupakan
pesta demokrasi yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan politik masyarakat
Indonesia. Sebegitu pentingnya pesta demokrasi tersebut karena posisinya
sebagai gerbang penentuan masa depan bangsa yang dimulai dari setiap
kotak-kotak suara.
Pada dasarnya,
saya pikir tidak ada satupun individu atau warga negara Indonesia yang tidak
sepakat dengan arti atau posisi penting Pemilu tersebut. Namun, banyaknya
peserta Pemilu terutama nama-nama calon legislatif, rumitnya surat suara, atau
munculnya identitas-identitas tak dikenal sebagai warga pemilih di satu daerah
pemilihan misalnya, yang membuat masyarakat menjadi bingung dengan sistem baku
atau idealnya sebuah Pemilihan Umum di Indonesia.
Fakta bahwa
Indonesia merupakan jalinan masyarakat yang majemuk tidak bisa dihindarkan
dalam penentuan sistem Pemilu tersebut. Sistem distrik maupun sistem
proporsional murni, keduanya memiliki kelebihan serta kekurangan di dalam tata
cara pelaksanaannya. Mau tidak mau, kita harus memilih, mana sistem yang terasa
paling cocok dalam menjamin keberagaman di Indonesia tercinta ini.
Pemilu
Legislatif
Saya meyakini
bahwa sistem Pemilu di tahun 1999 yang juga merupakan Pemilu pertama
Pasca-Reformasi adalah sistem Pemilu yang paling cocok untuk Indonesia. Di
samping menjamin kebebasan multi partai, sistem Pemilu di tahun 1999 itu juga
tidak rumit dan berhasil menekan biaya negara dalam produksi surat suara.
Sederhananya, masyarakat pemilih hanya bertemu dengan tanda dan gambar partai
yang mesti dicoblos. Disini, saya pikir masyarakat tidak akan kesulitan dalam
menentukan pilihannya masing-masing berdasarkan kepercayaan atau track
record partai-partai tersebut.
Memang, partai
menjadi poros yang penting terutama dalam menentukan kandidat atau calon
legislatif baik untuk DPR Pusat maupun DPR Daerah jika mengikuti sistem
tersebut. Disini, menjadi kewajiban partai dalam mempersiapkan kader-kader
terbaiknya untuk penentuan kandidat. Tentu sudah menjadi prasyarat ideal bagi
partai, bahwa kandidat-kandidat tersebut mesti mempunyai catatan yang bersih
sekaligus dikenal oleh masyarakat. Dikenal disini tentu bukan seperti
dikenalnya para artis oleh para penggemarnya. Tetapi, figur yang dipersiapkan
partai sudah sepatutnya mempunyai track record yang secara intens
bersosialisasi, bahkan menjadi panutan dalam masyarakatnya itu. Sehingga, bukan
sekedar omong kosong belaka jika sang kandidat melaju menjadi anggota
legislatif.
Pertanyaannya
sekarang adalah, siapa sebenarnya peserta Pemilu hari ini? Partaikah, atau
individu caleg?
Kita sepertinya tidak mempunyai pijakan
yang jelas. Aturan KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab akan
terlaksananya pesta demokrasi tersebut menjadi absurd atau mengawang-ngawang.
Sehingga, banyak menimbulkan penafsiran ganda. Jika dalam aturan telah
ditetapkan bahwa peserta Pemilu adalah partai, maka sudah sepatutnya seluruh
caleg merupakan kewenangan partai dalam mengatur dan mempersiapkannya. Kita
lihat kenyataan sekarang ini yang membuat miris, para caleg bertempur keras
satu sama lain, saling sikut, saling tindih, meskipun dalam satu bendera
partai. Kenyataan yang tidak sehat ini menurut saya malah akan semakin
menjerumuskan bangsa ini. Alih-alih masyarakat dapat mengenal wakil-wakilnya,
tetapi yang terjadi malah semakin terbukanya jalan politik uang karena setiap
caleg berusaha jungkir-balik sendiri agar duduk di Senayan. Dimana posisi
partai kalau sudah seperti ini? Toh, tudingan negatif tentu akan dialamatkan
kepada partai jika caleg-caleg tersebut nantinya terjerat kasus hukum. “Siapa
tuh Si Anu yang maling uang proyek sapi-sapian?” “Ooo, Si Anu itu dari Partai
Anu.” Tudingan tersebut tentu akan berdampak pada partai, padahal partai dalam
hal ini tidak memegang kendali penuh terhadap caleg-caleg tersebut.
Memulai Politik dengan Jujur
Sistem suara
terbanyak memang menjadi patokan bagi sistem pemilihan kita. Dengan sistem proporsional terbuka seperti sekarang, sistem suara
terbanyak malah akan jadi bumerang bagi masyarakat. Intinya, siapa yang
mempunyai kucuran dana kampanye paling banyak, dia yang akan merajai spanduk,
baliho di tiap-tiap simpang, media cetak maupun elektronik dan
panggung-panggung seni, padahal dia belum tentu mempunyai kapabilitas yang
mumpuni.
Itu belum termasuk uang
yang disebar kepada masyarakat agar bisa memilih sang calon ketika Pemilu.
Bayangkan saja, jika sang calon menghabiskan uang 10 Milyar ketika kampanye
sedangkan total gaji yang didapatkan ketika 5 tahun duduk sebagai anggota DPR
hanya sekitar 2 Milyar. Maka sudah pasti sang calon akan mencari pemasukan lain
dan salah satunya dengan cara korupsi.
Saat ini saya mencoba
alternatif lain dengan resiko tidak terpilih, yakninya dengan cara berpolitik
jujur dan menjauhkan politik uang. Saya mencoba cara yang dilakukan oleh Jokowi
dengan turun ke nagari-nagari untuk berdialog dengan warga. Bagi saya, bertemu
dengan konstituen dan membangun komitmen terukur selama lima tahun merupakan
salah satu cara yang tepat untuk memperbaiki Negara ini. Coba bayangkan, jika
seandainya sang calon telah terlebih dahulu memberi uang kepada masyarakat pada
suatu nagari atau desa tentu secara kasarnya sang calon sudah menganggap lunas
dan tidak perlu lagi datang ke daerah itu ketika sudah terpilih. Saya tahu
resiko dari menjauhi politik uang adalah tidak terpilih seperti yang telah saya
alami pada Pemilu 2009, tetapi saya yakin jika kita mempunyai niat yang baik
suatu saat rakyat akan sadar dan memilih berdasarkan hati nurani bukan uang.
Ditambah lagi
dengan persoalan sistem dapil. Bagi para caleg di daerah mungkin tidak akan
sulit melakukan kontrak politik dengan para konstituennya. Tetapi, berbeda
halnya jika itu terjadi pada caleg untuk DPR pusat dimana wilayah yang mesti
dijangkaunya sangat luas. Persoalan ini akan selesai dengan mudah jika partai
benar-benar diposisikan sebagai peserta Pemilu, bukan sebagai wadah atau titik
loncatan caleg ke Senayan. Sehingga, bukan barang mustahil saat sekarang ini
jika aspirasi masyarakat tidak tersalurkan, karena para caleg bermain solo
meski di belakangnya ada bendera partai yang tentunya harus menutupi defisit
pengeluaran saat kampanye hanya sekedar dengan spanduk-spanduk dan janji
murahan. Hal ini dilakukan mungkin salah satu dari cara yang salah dalam
mengakali wilayah yang sangat luas tadi.
Maka dari itu
saya tegaskan, caleg itu bukan semata-mata wakil iklan, tetapi tolong
digarisbawahi bahwa caleg itu benar-benar orang yang mempunyai catatan
pengabdian yang panjang terhadap masyarakat dan itu diwadahi oleh partai.
Sehingga, akan bertemu simpul kewajiban partai yang merapat pada rakyat bukan
pada saat-saat menjelang Pemilu saja. Dengan begitu, posisi partai akan sangat
jelas, berbeda dengan saat sekarang dimana posisi partai seperti digantung
tidak bertali.
Saya kira, KPU
dan kroni-kroninya adalah lembaga yang juga bertanggung jawab terhadap maraknya
korupsi dewasa ini di negeri kita. Hal ini karena persoalan tadi, pijakan
aturan yang mengawang-ngawang. Sekarang, kalau kita memang mau maju sebagai
bangsa dan negara, jangan tanggung-tanggung. Kalau perlu, memakai sistem
distrik sekalian biar jelas pula aturan mainnya. Saya yakin bahwa bangsa yang
bijak itu adalah bangsa yang selalu bercermin pada sejarahnya. Apakah kita
sudah termasuk ke dalam kategori bangsa yang bijak itu?
0 Comment to "PESTA DEMOKRASI IDEAL: “KITA HARUS BERANI MEMULAI JUJUR DAN TIDAK MEMILIH POLITIK UANG”"
Posting Komentar